Hari ini terasa seperti hari-hari lainnya. Bangun pagi, memulai rutinitas, dan mencoba menyelesaikan daftar pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Namun, di balik semua gerak yang tampak normal itu, ada sebuah riuh rendah di dalam kepala. Sebuah percakapan dengan diri sendiri yang tak kunjung usai.
Hari ini tak ada yang benar-benar istimewa. Semuanya berjalan sebagaimana biasanya: rutinitas, tugas-tugas yang harus diselesaikan, dan waktu yang terasa berlari tanpa menunggu.
Tapi entah kenapa, ada sesuatu di dalam diriku yang berbeda. Seperti ada dorongan, bisikan kecil yang berkata, "Ayo selesaikan. Ayo lanjutkan. Bukan karena tekanan dari luar, bukan karena harus, tapi karena kamu ingin." Ingin menyelesaikan — bukan sekadar menyelesaikan tugas, tapi juga menyelesaikan pencarian terhadap diri sendiri.
Ini bukan tentang masalah psikologis. Bukan. Ini lebih dalam dari itu. Ini tentang sebuah pergulatan sunyi untuk berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan segala impian yang terasa harus dicapai secepat kilat, dengan semua tuntutan yang menumpuk di pundak, dan dengan harapan orang-orang—juga harapan diri sendiri—yang telah lama menunggu untuk diwujudkan.
Aku sadar, semua impian yang pernah kutulis di atas kertas, semua harapan yang kutanam dalam doa, seolah menungguku untuk bergerak lebih cepat. Dunia ini tak sabar, waktu tak menunggu. Tapi aku tahu, ini bukan hanya soal berlari cepat, melainkan juga soal arah.
Setiap langkah yang kuambil hari ini terasa seperti sebuah refleksi. "Sudah sejauh mana aku melangkah?" "Apakah jalan yang kupilih ini sudah benar?" "Sudah sampai mana aku dari tujuan yang katanya ingin kuraih?"
Terkadang aku bertanya, sudah sejauh apa aku berjalan? Sudah sampai mana tujuan itu? Aku tidak tahu jawabnya dengan pasti. Tapi aku tahu, aku masih di jalan yang sama: jalan pencarian. Mencari arti dari segala hal. Mencoba memahami untuk apa semua ini dimulai.
Pertanyaan-pertanyaan itu bercabang. Di luar sana, aku tahu, kesempatan terhampar begitu luas. Ada banyak hal yang ingin kupelajari, banyak jalan yang menarik untuk dijelajahi, banyak hal baru untuk dicoba. Kerangka dan arah tujuan utamaku sebenarnya sudah ada, namun hasrat untuk bereksplorasi ini begitu kuat. Tapi kemudian muncul ketakutan: bagaimana jika semua cabang yang ingin kucoba ini justru membawaku ke arah yang tak menentu? Bagaimana jika aku tersesat di tengah persimpangan yang kubuat sendiri?
Di luar sana, banyak kesempatan yang datang dan pergi. Tapi di dalam diri ini, aku tahu aku tak bisa mengejar semuanya. Aku harus memilih satu. Fokus. Menetapkan tujuan. Menjaga agar hati ini tidak terus-menerus terombang-ambing oleh apa yang terlihat menarik tapi kosong.
Aku punya kerangka. Aku punya arah. Tapi aku masih merasa harus mengeksplorasi banyak hal — entah dengan belajar, mencoba, atau sekadar mengalami. Dan di sanalah tantangannya. Bagaimana menjaga agar eksplorasi tidak menjadi pelarian, tapi tetap membawa ke arah yang jelas?
Fokus. Kata itu terus terngiang. Aku harus fokus pada satu tujuan utama.
Terkadang, aku merasa kita perlu menjadi seorang filsuf untuk memahami semua kerumitan ini. Mencari arti dari setiap perjalanan yang terasa acak. Namun di saat yang bersamaan, aku sadar, ada kalanya kita harus mengesampingkan filsafat untuk "mencari makan", bukan malah "dimakan oleh filsafat" itu sendiri. Logika sederhana memberitahu bahwa naluri dasar manusia akan selalu kembali pada pemenuhan kebutuhan pokok. Mungkin setelah perut kenyang dan rasa aman terpenuhi, barulah kita punya kemewahan untuk bertanya tentang nilai-nilai dan makna hidup.
Kadang juga aku berpikir, apakah aku harus jadi filsuf untuk menjawab semua ini? Atau cukup jadi manusia biasa yang sedang mencoba mencari makan, bukan dimakan oleh pemikiran? Rasanya, kita semua sampai pada titik itu: saat kebutuhan dasar terpenuhi, kita mulai mencari makna. Nilai-nilai. Diri kita yang sebenarnya.
Dan mungkin, dinamika inilah yang sesungguhnya terjadi. Tarik-menarik antara kebutuhan bertahan hidup dan kebutuhan untuk menemukan arti. Pergulatan inilah yang pada akhirnya mendorongku untuk terus mencari, bukan hanya tentang siapa diriku, tetapi di mana posisiku yang sebenarnya di hadapan Sang Pencipta.
Dan di tengah semua itu, aku terus bertanya:
Siapa aku di hadapan Sang Pencipta?
Ke mana sebenarnya aku ingin menuju?
Dan kenapa pertanyaan itu terus datang kembali?
Di akhir hari, di tengah keheningan malam, semua riuh rendah itu mengerucut pada satu pertanyaan abadi yang menggantung tanpa jawaban pasti:
Kenapa?
0 Comments