Advertisement

Responsive Advertisement

Dari Nikel ke Sendok: Ironi Bangsa Kaya yang Terjebak Menjadi Pekerja

 Sebuah sendok di tangan kita. Berkilat, fungsional, dan sering kali dianggap remeh. Banyak dari sendok itu berbahan dasar stainless steel, sebuah produk olahan yang salah satu komponen utamanya adalah nikel. Ironisnya, Indonesia adalah raja nikel dunia, namun kita lebih sering menjadi pembeli sendoknya daripada perancang prosesnya.

Kisah nikel dan sendok ini adalah metafora sempurna untuk kondisi bangsa kita hari ini: sebuah negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam melimpah, namun terjebak dalam peran sebagai pemasok bahan mentah dan tenaga kerja, bukan sebagai inovator dan penguasa teknologi. Mengapa ini terjadi? Jawabannya terbentang rumit dalam labirin pendidikan, pola pikir masyarakat, dan dinamika politik kita.


Cadangan Nikel #1 Dunia, Mentalitas #Sekian

Mari kita lihat datanya. Indonesia menguasai cadangan nikel terbesar di dunia, dengan perkiraan 21 juta metrik ton, setara dengan sekitar 22% dari total cadangan global. Kita adalah produsen utama, memasok kebutuhan dunia untuk baterai kendaraan listrik, konstruksi, dan barang-barang konsumsi seperti sendok tadi.

Pemerintah telah berupaya mendorong program hilirisasi, memaksa pengolahan bijih nikel di dalam negeri sebelum diekspor. Secara teori, ini adalah langkah yang brilian. Tujuannya adalah meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan mendatangkan devisa lebih besar. Smelter-smelter raksasa pun bermunculan, terutama di Sulawesi dan Maluku Utara.

Namun, di sinilah ironi itu mengeras. Ketika perusahaan asing (baik dari Tiongkok, Eropa, maupun negara lain) datang dengan teknologi dan modal mereka untuk membangun smelter, apa yang terjadi pada masyarakat kita? Terjadi sebuah "perburuan" massal untuk menjadi pekerja. Menjadi operator alat berat, teknisi lapangan, atau staf administrasi di perusahaan-perusahaan tersebut dianggap sebagai puncak pencapaian.

Pertanyaannya, mengapa hanya sedikit yang bercita-cita atau mampu menembus posisi C-level (CEO, CFO, CTO) di perusahaan tersebut? Mengapa kita tidak melihat lahirnya perusahaan-perusahaan teknologi pengolahan nikel yang dimiliki dan dipimpin oleh putra-putri daerah? Padahal, secara logika, warga lokal lah yang paling memahami kondisi geografis, sosial, dan budaya daerahnya. Jawabannya terletak pada fondasi yang telah lama retak.

Pendidikan yang "Mencetak" Pekerja, Bukan Pencipta

Sistem pendidikan kita, secara sadar atau tidak, dirancang untuk menghasilkan angkatan kerja yang patuh dan terampil dalam mengikuti instruksi, bukan untuk melahirkan inovator yang berani mendobrak kemapanan. Sejak bangku sekolah dasar, kita diajarkan untuk menghafal, bukan untuk bernalar kritis. Jawaban yang benar adalah jawaban yang ada di buku teks, bukan jawaban yang ditemukan melalui eksperimen dan kegagalan.

Pola ini berlanjut hingga perguruan tinggi. Orientasinya adalah mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) setinggi mungkin agar lekas diterima kerja di perusahaan besar atau menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Visi hidup yang ditanamkan adalah "mencari tempat yang aman dan stabil". Tidak ada yang salah dengan kestabilan, tetapi ketika seluruh generasi dididik dengan pola pikir ini, kita kehilangan potensi para pengambil risiko, para penemu, dan para wirausahawan sejati.

Kita menciptakan para pencari kerja (job seekers), bukan para pencipta kerja (job creators). Akibatnya, ketika ada peluang di depan mata—seperti revolusi nikel ini—naluri pertama kita adalah bertanya, "Bagaimana cara saya melamar kerja di sana?" bukan, "Bagaimana cara saya membangun bisnis yang bisa menjadi mitra atau bahkan pesaing mereka?"

Gema Peringatan dari Masa Lalu dan Politik Hari Ini

Kondisi ini bukanlah hal baru. Para pendiri bangsa sudah melihat bibit-bibit mentalitas ini sejak lama. Tan Malaka, dalam pemikirannya, pernah menyiratkan sebuah konsep kemandirian total yang disebut "Merdeka 100%". Bukan hanya merdeka secara fisik dari penjajah, tetapi juga merdeka secara mental dan ekonomi. Ia pernah berkata:

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk."

Kutipan ini sering diartikan sebagai proses pembentukan karakter melalui kesulitan. Namun, kita bisa membacanya dalam konteks ini: bangsa ini harus berani "terbentur" pada kegagalan, "terbentur" pada risiko membangun teknologi sendiri, "terbentur" pada sulitnya riset dan pengembangan, agar pada akhirnya "terbentuk" menjadi bangsa yang mandiri dan inovatif.

Sayangnya, dinamika politik kita sering kali berjalan di jalur yang berlawanan. Kepentingan jangka pendek—seperti stabilitas politik, perolehan suara dalam pemilu, atau keuntungan ekonomi segelintir elite—lebih diutamakan daripada investasi jangka panjang pada riset dan pengembangan (R&D) dan revolusi pendidikan. Kebijakan hilirisasi, walau niatnya baik, bisa menjadi bumerang jika tidak diiringi dengan syarat transfer teknologi yang ketat dan program pengembangan sumber daya manusia yang serius untuk mengisi posisi-posisi puncak.

Tanpa kedaulatan di bidang teknologi dan kepemimpinan, kita hanya akan menjadi operator di pabrik kita sendiri. Kita punya nikelnya, mereka punya paten dan otaknya. Kita yang menggali, mereka yang menikmati keuntungan terbesarnya.

Mengubah Arah: Dari Pekerja Menjadi Perintis

Lalu, apa yang harus dilakukan? Mengeluh tidak akan mengubah sendok menjadi tambang emas. Perubahan harus bersifat fundamental dan kolektif.

  1. Revolusi Mental dan Pendidikan: Kurikulum harus dirombak total. Prioritaskan kemampuan berpikir kritis, problem-solving, kreativitas, dan literasi digital sejak dini. Kenalkan kewirausahaan bukan sebagai mata pelajaran hafalan, tetapi sebagai proyek nyata yang mendorong siswa untuk gagal dan belajar dari kegagalan itu.

  2. Hilirisasi yang Berdaulat: Kebijakan hilirisasi harus punya babak selanjutnya. Pemerintah harus berani memberikan insentif besar bagi perusahaan nasional yang mau berinvestasi di R&D. Kerjasama dengan asing harus mewajibkan adanya road map yang jelas untuk alih teknologi dan penempatan talenta lokal di posisi strategis dalam kurun waktu tertentu.

  3. Membangun Ekosistem Inovasi: Negara butuh lebih banyak venture capital yang didukung pemerintah, taman sains dan teknologi (science and technology park) yang benar-benar berfungsi, dan perlindungan hak kekayaan intelektual yang kuat. Ini akan memberi sinyal kepada para calon inovator bahwa ide mereka dihargai dan dilindungi.

Kisah nikel adalah cerminan. Apakah kita akan selamanya puas hanya menjadi penonton dan pekerja di tengah kekayaan kita sendiri, atau kita akan bangkit untuk mengambil alih kemudi?

Saat kita memegang sendok itu lagi, mari kita tidak hanya melihatnya sebagai alat makan. Mari kita lihat sebagai pengingat harian akan potensi bangsa yang belum sepenuhnya kita gali. Kita punya bahan bakunya. Sekarang saatnya kita belajar merancang, memproses, dan pada akhirnya, menciptakan "sendok-sendok" inovasi kita sendiri untuk dunia.

Post a Comment

0 Comments