Advertisement

Responsive Advertisement

Ilusi Radikalisme dalam Tantangan Pluralisme di Indonesia



tulisan lampau ini di tulis karena semoga tulisan ini dapat di baca




judulnya mungkin agak ngga lain ngga bukan sedikit menyinggung tapi mohon di maafkan sebelumnya
dan materi ini saya dapatkan saat masa masa awal kampus (PBAK) sebutanya atau pengenalan budaya akademik kampus, langsung ke dalam konteks saja 

Indonesia, tanah air yang kaya akan keragaman budaya, bahasa, dan agama, telah menjadi arena pertempuran melawan radikalisme, bahkan di lingkungan kampus. Fenomena ini menjadi tantangan serius bagi negara yang selama ini dikenal sebagai negara yang inklusif. (ibaarat latar belakang jurnal ilmiah) yah intinya dengan negara kita yang berdiri diatas 17.000 pulau kurang lebih nya dan lebih dari 100 suku bangsa yang dikenal sebagaai negara maritim dan katulistiwa, pasti banyak yang namanya perbedaan, disinilah berkembang cara pandang entitas suku bangsa,  budaya, bahkan kepercayaan. 
 


Mahasiswa, yang seharusnya menjadi agen perubahan yang membawa kemajuan bagi bangsa, sekarang juga menjadi bagian dari permasalahan tersebut. Data menunjukkan bahwa tidak sedikit mahasiswa yang tidak lagi meyakini nilai-nilai Pancasila, bahkan sebagian dari mereka mendukung konsep khilafah. dari banyak nya suku bangsa yang berkumpul dalam institusi pastilah ada yang namanya perbedaan dalam cara pandang melihat adanya perbedaan dan pertentang negara dan agama ditambah masa masa peralihan yang masih labil menjadikan sebuah ego yang di pandang baik

Tidak mudah untuk menemukan akar dari masalah radikalisme kampus ini. Banyak faktor yang berkontribusi, dan satu di antaranya adalah maraknya narasi digital yang memperkuat pemikiran radikal melalui internet. data dari BIN (badan intelijen negara) juga manyajikan bahwa sebagian besar terorisme menyasar pada kelompok muda. dan riset menunjukan 16,8% tidak setuju dengan pancasila dan 17,8% setuju dengan khilafah. Diperlukan upaya serius untuk menyaring informasi-informasi yang dapat mempengaruhi pemikiran mahasiswa.

Tak hanya narasi digital, gerakan transnasional juga menjadi penguat dari radikalisme di kampus. Mahasiswa terlibat dalam gerakan yang tidak jarang berhubungan dengan kelompok-kelompok ekstremis di luar negeri, yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran mereka. merek ayang tertutuk tidak jarang ditemui dan keterbukaan mereka hanya dalam beberpaa golongan dan komunita yang mereka anut dalam golongn, hal ini menjadi kewapadaan dalam melihat kondisi saat ini

Ciri-ciri radikalisme di kampus juga menjadi perhatian serius. Politisasi agama, penghilangan kepercayaan terhadap ulama moderat, serta penolakan terhadap sistem negara menjadi tanda-tanda yang harus diwaspadai. Proses pemikiran yang tekstual, di mana mereka merasa paling benar dan eksklusif, juga menjadi salah satu ciri khas dari radikalisme kampus. tak jarang mereka yang secara inklusif merencanakan aksi aksi yang mungkin dapat memecah belah persataun 

Tidak hanya itu, intoleransi juga menjadi gejala yang sering dijumpai di kampus-kampus. Pembatasan pergaulan dan sikap tidak suka terhadap perbedaan menjadi hal yang umum terjadi. Ada juga tindakan ekstremisme non-kekerasan, di mana mereka menganggap teguh apa yang mereka yakini tanpa harus melakukan tindakan kekerasan. Namun, hal ini bisa menjadi pijakan untuk tindakan kekerasan di kemudian hari.

Untuk mengatasi radikalisme di kampus, moderasi beragama sangat dianjurkan. Moderasi ini bukan hanya sekedar toleransi, namun juga penghargaan terhadap perbedaan. Mahasiswa perlu menerima dan menghargai tradisi serta keyakinan agama tanpa menentang nilai-nilai Pancasila.
Sebagai bagian dari bangsa yang berlandaskan Pancasila, mahasiswa diharapkan dapat menjalankan aksi-aksi yang baik, yang menghormati perbedaan dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Hanya dengan demikian, radikalisme di lingkungan kampus dapat diminimalisir, dan Indonesia dapat tetap menjadi negara yang inklusif dan pluralistik.


sebenarnya ada 2 narsum 
dan quote and quote ini bagian dari lanjutan yang di sampaikan oleh gus reza 

Dalam kehidupan ini, kita semua disatukan oleh perbedaan. Allah menciptakan Nabi Adam dari tanah liat, dan meskipun kita berasal dari budaya, suku, dan agama yang berbeda, kita semua bersatu dalam keberagaman. Sebagai umat Muslim, Kabah menjadi kiblat bagi kita semua, dari berbagai penjuru dunia.

Kemampuan untuk mengelola perbedaan dengan bijak adalah kunci utama untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat. Perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar dan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Imam Malik pernah menjelaskan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang alami di antara manusia, dan kita tidak perlu repot-repot mencarinya.

Dalam memahami agama Islam, kita bisa mengambil contoh dari pemikiran Idris bin Syafi'i. Beliau mengajarkan tentang empat hal yang penting dalam kehidupan: tasawuf, khasanah (kekayaan), iktidal (kesederhanaan), dan tawasud (keseimbangan). Tawasud, atau keseimbangan, adalah kunci untuk menjaga umat dari sikap ekstremis.

Pentingnya menjadi umat yang seimbang atau tawasud tidak bisa dianggap remeh. Sikap tawasud bisa menyelamatkan kita dari jatuh ke dalam ekstremisme. Ini menekankan perlunya perjuangan untuk menjadi umat yang seimbang dalam menjalani kehidupan. Salah satu caranya adalah dengan memperkuat pondasi keimanan dan pengetahuan kita.

Untuk menjadi tawasud, kita perlu memperkuat fundamental dalam agama dan keilmuan. Ini berarti mencari informasi sebanyak mungkin dan memahami agama dengan lebih mendalam. Ketika pondasi pengetahuan kita kuat, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh paham-paham radikal yang seringkali menyesatkan.

Dalam zaman yang serba cepat dan penuh dengan informasi, menjadi tawasud adalah tantangan yang nyata. Namun, dengan kesungguhan dan keuletan, serta dukungan dari masyarakat yang mempromosikan toleransi dan kerukunan, kita semua dapat mencegah penyebaran radikalisme dan menciptakan masyarakat yang lebih damai dan harmonis. Semoga kita semua bisa menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi bahaya radikalisme dan menciptakan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang.


any question 
apakah radikalisme bagian dari rekayasa 1% kelompok yang ingin menguasai dunia ?

our reference:
    
thank to present:
Prof Hasanudin Ali dan Gus Reza at PBAK UINSA 2022

Post a Comment

0 Comments